Senin, 08 Agustus 2011

Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Menurut K.U.H.Perdata Dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974


1.      Kekuasaan Orang Tua Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Kekuasaan orang tua menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata meliputi 2 bahagian yaitu:
a.      Kekuasaan Orang Tua Terhadap Diri Anak.
Seorang anak sah sampai ia menjadi dewasa tetap berada dibawah kekuasaan orang tua sepanjang perkawinan bapak dan ibunya, sekedar mereka tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan itu (Pasal 300 ayat 3).
Dengan demikian terhadap anak sah kekuasaan orang tua mulai pada saat si anak dilahirkan dan terhadap anak luar kawin yang kemudian di sahkan, pada saat ia di sahkan. Kekuasaan itu berakhir, jika si anak menjadi dewasa, jika perkawinan orang tuanya bubar atau jika kedua orang tuanya di bebaskan atau di pecat atau yang satu di bebaskan dan yang lain di pecat dari kekuasaan itu. Dengan meninggalnya si anak, maka kekuasaan orang tua tentu saja juga berakhir[1].
Selama anak belum dewasa, kekuasaan orang tua tidak berakhir dengan adanya perpisahan meja dan tempat tidur dari orang tuanya, karena dalam hal ini perkawinan tetap berlangsung. Siapa yang dalam hal perpisahan meja dan tempat tidur akan menjalankan kekuasaan orang tua, di tentukan oleh Hakim (Pasal 246 ayat 2).
Seorang anak tidak mungkin berada di bawah kekuaaan orang tua dan perwalian. Ia berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian (Pasal 330 ayat 5).
Jika salah satu dari orang tua meninggal dunia, maka orang tua yang hidup terlama demi hukum menjadi wali dari anak yang belum dewasa, sekedar ia ini tidak di bebaskan atau di pecat dari kekuasaan orang tuanya (Pasal 345). Menurut perasaan saja, akan lebih sesuai dengan kesadaran hukum, apabila ditentukan bahwa dalam hal orang tua yang hidup terlama mempunyai kekuasaan orang tua terhadap anaknya.
Ketentuan dari Pasal 345 yang menentukan bahwa seorang tua menjadi wali dari anaknya, karena suami atau isterinya meninggal, kiranya oleh banyak orang tidak di mengerti atau di anggap tidak logis. Normal sepanjang perkawinan si bapak melakukan kekuasaan orang tua. Jika ibu si anak meninggal, kekuasaan orang tua berakhir dan diganti dengan perwalian, normal si bapaklah yang menjadi wali. Menurut perasaan pribadi saja ini tidak logis walaupun ada alasan untuk merubah kekuasaan orang tua itu menjadi perwalian, sepanjang perkawinan normal si anak tidak mempunyai harta kekayaan. Jika ibunya meninggal, ada kemungkinan bahwa anak memperoleh harta kekayaan, yaitu yang berasal dari warisan ibunya.
Perundang-undangan menghendaki agar pengurusan harta kekayaan itu diawasi oleh Balai Harta Peninggalan. Ini kiranya adalah sebab utama bahwa si bapak tidak tetap mempunyai kekuasaan orang tua, tetapi menjadi wali. Dengan demikian pengurusan harta kekayaan oleh bapak-wali diawasi oleh Balai Harta Peninggalan, karena salah satu perbedaan yang penting antara kekuasaan orang tua dan perwalian adalah bahwa dalam hal pengurusan harta kekayaan seseorang yang mempunyai kekuasaan orang tua tidak dan seorang wali berada dibawah pengawasan wali-pengawas, yaitu Balai Harta Peninggalan (Pasal 366).
Tetapi sepanjang perkawinan bapak dan ibu yaitu selama (normal) si bapak menjalankan kekuasaan orang tua, si anak juga mungkin mempunyai harta kekayaan yang diperoleh, misalnya sebagai hibah atau hibah wasiat dari kakek, nenek, saudaranya dan sebagainya. Harta kekayaan itu diurus oleh si bapak, yang menjalankan kekuasaan orang tua tanpa diawasi oleh Balai Harta Peninggalan. Dalam hal ini ia dipercaya dalam hal isterinya telah meninggal, ia dipercaya lagi dan mengenai pengurusan itu ia ditaruh dibawah pengawasan.
Menurut Pasal 299 sepanjang perkawinan orang tuanya, maka si anak berada dibawah kekuasaannya, sekedar mereka tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan itu. Pada dasarnya si bapak dan ibu di persamakan. Tetapi persamaan ini hanya merupakan persamaan atas kertas, karena menurut Pasal 300 dalam keadaan normal kekuasaan itu dijalankan oleh si bapak sendiri. Ini berarti, bahwa si bapak sendiri yang berhak menentukan tentang pemeliharaan dan pendidikan si anak. Ia lah yang menentukan untuk pekerjaan apa si anak harus di didik, dimana ia harus belajar, dalam agama pun ia harus di didik dan sebagainya. Jika hubungan antara bapak dan ibu normal, kiranya sebelum mengambil keputusan si bapak akan berembuk lebih dahulu dengan si ibu. Tetapi si bapak lah yang memutuskan, apabila tidak ada persesuaian paham. Si ibu harus menerima keputusan si bapak. Dalam kehidupan yang nyata tentu saja ada isteri-isteri yang mengemudikan dan memutus segala apa yang terjadi dalam rumah tangga, dan ada suami-suami yang mengikuti segala apa yang dikehendaki oleh isteri[2].
Dalam hal si bapak dan ibu berpisah meja dan tempat tidur, oleh Hakim akan diputuskan siapa dari mereka yang akan menjalankan kekuasaan orang tua (Pasal 246).
Si ibu akan menjalankan kekuasaan orang tua jika si bapak di bebaskan atau di pecat dari kekuasaan orang tua itu, atau ia berada diluar kemungkinan untuk menjalankan kekuasaan itu. Si bapak dianggap berada diluar kemungkinan antara lain jika ia sakit keras, ia menjadi gila, jika tempat kediamannya tidak diketahui atau tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal.
Dalam hal si ibu pun berada diluar kemungkinan untuk atau tidak berhak menjalankan kekuasaan tersebut ( ia telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua ), maka oleh Pengadilan Negeri akan diangkat seorang wali (Pasal 300 ayat 3 jo. Pasal 359, lihat juga Pasal 246 ayat 2). Jadi dalam hal ini si anak dibawah perwalian, walaupun perkawinan antara orang tuanya belum bubar.
Kekuasaan orang tua mengenai pribadi si anak dan harta kekayaan si anak. Akibat-akibat kekuasaan itu terhadap pribadi si anak di atur dalam bagian ke satu dan terhadap harta kekayaan si anak dalam bagian ke dua dari Bab XIV dari Buku ke I.
Pasal 298 ayat 1 yang menentukan bahwa tiap-tiap anak dalam umur berapapun juga, wajib menghormati dan menyegani orang tuanya, lebih merupakan norma kesusilaan dari pada norma hukum. Walaupun demikian, pelanggaran ketentuan tersebut oleh si anak yang belum dewasa dapat memberi alasan kepada si ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua untuk melakukan tindakan-tindakan koreksi terhadap anak itu. Ketentuan tersebut merupakan juga dasar dari pada larangan dalam Pasal 211 R.I.B (dan Pasal 583 ayat 1 Rv, yang harus dianggap sudah tidak berlaku lagi) kepada anak dan keturunan selanjutnya untuk menyanderakan karena hutang (paksaan-badan = gijzeling, = lijfsdwang) keluarganya sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas.
Ketentuan dari Pasal 298 ayat 1 berlaku tidak hanya bagi anak sah, melainkan juga bagi anak luar kawin dalam umur berapapun juga terhadap orang tuanya yang mengakuinya (Pasal 306 ayat 2).
Terhadap kewajiban si anak tadi, orang tuanya mempunyai kewajiban untuk memelihara dan mendidik anaknya (Pasal 298 ayat 2). Kewajiban ini adalah dasar dari kekuasaan orang tua. Kewajiban itu bukan akibat dari kekuasaan orang tua, tetapi disebabkan karena hubungan antara orang tua dan anak yang timbul karena keturunan. Ini ternyata dari ketentuan dalam Pasal 306 ayat 2, bahwa orang tua mempunyai kewajiban sama terhadap anak-anak luar kawin yang mereka telah akui dan dari ketentuan yang tegas dalam Pasal 298 ayat 2, bahwa kewajiban untuk memberi tunjangan-tunjangan guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan tidak berakhir, jika si bapak atau si ibu kehilangan hak untuk menjalankan kekuasaan orang tua atau menjadi wali.
Dengan pemeliharaan, dimaksud pemberian rumah, makanan, pakaian dan perawatan apabila si anak sakit. Dengan pendidikan, maksudkan pendidikan si anak menjadi makhluk sosial. Bagian utama dari kewajiban orang tua ini adalah menyekolahkan si anak agar kemudian ia mendapat kerja. Biayanya tentu saja harus seimbang dengan kemampuan orang tuanya, kecuali jika si anak mempunyai harta kekayaan dan atau penghasilan sendiri. Si anak tidak berhak menuntut pendidikan yang biayanya dipikul oleh orang tuanya.
Seperti telah dikatakan lebih dahulu orang tua mempunyai hak koreksi atau hak disipliner. Orang tua boleh memerintah si anak, si anak harus memenuhi perintah itu. Apabila si bapak atau si ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua mempunyai alasan yang sungguh-sungguh untuk merasa tidak puas, jengkel dan atau tobat terhadap perlakuan si anak, maka atas permohonan si bapak atau ibu itu, atau atas permohonan Dewan Perwalian (asal Dewan ini mengajukan permohonan tersebut atas permohonan dan demikian untuk bapak atau ibu itu), Pengadilan Negeri boleh memerintahkan agar si anak di tempatkan dalam rumah pendidikan-paksa Negara atau Swasta yang ditunjuk oleh Menteri Kehakiman untuk waktu tertentu. (untuk penempatan dalam rumah pendidikan paksa, dapat dilihat pada Peraturan Pendidikan Paksa dalam St. 1917-741, teristimewa Pasal 6). Waktu itu tidak boleh melebihi 6 bulan, jika si anak pada hari penetapan Hakim belum mencapai umur 14 tahun dan tidak boleh melebihi 1 tahun, jika si anak pada hari tersebut telah mencapai umur tersebut, dan sekalipun  tidak boleh melampaui saat si anak menjadi dewasa.
Biaya penampungan tersebut harus dipikul oleh bapak atau ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua, dan apabila ia tidak mampu untuk membayar maka biaya itu harus dibayar oleh si anak (Pasal 302 ayat 1). Jika si anak tidak mampu juga membayar biaya tersebut, maka biaya itu dibebankan kepada Negara (Pasal 303 ayat 3). Si bapak atau ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua senantiasa berhak untuk memperpendek waktu penampungan yang telah diputuskan oleh Hakim (Pasal 304 ayat 2)[3].
Juga Menteri Kehakiman sewaktu-waktu boleh memutus untuk mengeluarkan si anak dari rumah pendidikan paksa apabila ternyata bahwa tidak ada alasan lagi untuk penampungan tersebut atau apabila keadaan jasmani dan rohani si anak tidak mengizinkan penampungan lebih lama (Pasal 304 ayat 1)
Si bapak atau ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua yang berhak memperpanjang waktu penampungan harus mengajukan permohonan baru kepada Pengadilan Negeri menurut Pasal 302 (Pasal 304 ayat 2). Pemgadilan Negeri hanya boleh memerintahkan perpanjangan waktu itu tiap-tiap kali untuk tidak lebih dari  6 bulan berturut-turut, dan setelah mendengar jika perlu secara tertulis kepala rumah pendidikan paksa, dimana si anak berdiam atau seorang penggantinya (Pasal 304 ayat 3).
Pasal 302 ayat 2 dan Pasal 303 memberi peraturan-peraturan tentang prosedurnya dimuka Pengadilan. Sebelum memberi keputusan atas permohonan yang diajukan menurut Pasal 302 (untuk menampung si anak) atau menurut Pasal 304 ayat 2 (untuk memperpanjang waktu), maka Pengadilan Negeri lebih dahulu akan mendengar Dewan Perwalian. Selain dari pada itu akan didengar setidak-tidaknya akan dipanggil orang tua yang lain (yang tidak melakukan kekuasaan orang tua), sekedar ia ini tidak kehilangan kekuasaan orang tua. Juga si anak akan dipanggil untuk didengar (Pasal 302ayat 2).
Jika si anak tidak datang menghadap, maka pemeriksaan akan diundur sampai hari lain dan oleh Pengadilan Negeri akan diperintahkan agar si anak dibawa ke muka sidang yang telah ditentukan pada hari lain itu, oleh seorang juru sita atau Polisi. Perintah ini dilaksanakan oleh Kejaksaan. Jika si anak masih tidak menghadap (mungkin tidak dapat ditemukan), maka Pengadilan Negeri akan mengambil keputusan tanpa mendengar si anak (Pasal 303 ayat 1).
Dalam hal permohonan untuk menampungkan si anak dikabulkan, maka Pengadilan Negeri akan memerintahkan penampungan si anak tanpa suatu formalitas. Dalam keputusan itu tidak akan disebutkan sebab-sebabnya (Pasal 303 ayat2). Keputusan Pengadilan dengan mana telah diputuskan penampungan si anak atas permintaan si bapak atau si ibu yang melakukan kekuasaan orang tua, akan dilaksanakan atas perintah jawatan Kejaksaan.
Maksud penempatan si anak dalam rumah pendidikan paksa adalah untuk memberi pendidikan yang baik dan demikian memperbaiki (kelakuan) si anak. Apakah pada umumnya maksud itu akan tercapai harus diragu-ragukan. Anak itu akan berkumpul dengan anak-anak yang lain yang juga kelakuannya tidak baik. Sering mereka satu dari yang lain justru belajar perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Kiranya harus dicari cara lain, misalnya menitip anak demiian dalam keluarga lain yang bias menguasai anak.
Walaupun tidak ditentukan dalam KUHPerdata dapat dianggap bahwa si bapak atau si ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua berhak menentukan dimana si anak akan berdiam, dirumah orang tuanya atau dirumah orang lain. Hak ini merupakan bagian dari kekuasaan orang tua.
Orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua berhak menuntut anaknya dari siapa yang menarik si anak dari kekuasaan tersebut tanpa hak, atau yang menyembunyikan anak yang dicari karena telah ditarik dari kekuasaan tersebut oleh orang lain atau yang menarik dirinya sendiri dari kekuasaan itu (telah lari). Perbuatan-perbuatan demikian merupakan perbuatan melanggar hukum 1) dan apabila dilakukan dengan sengaja merupakan tindak pidana (Pasal 330,331 KUHP).
Pada umumnya anak yang belum dewasa tidak mampu melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang, maka dalam segala tindak perdata ia diwakili oleh bapak atau ibunya yang menjalankan kekuasaan orang tua. Ini tidak ditentukan dengan tegas dalam undang-undang (berlainan dengan perwalian anak yang berada dibawah perwalian : Pasal 383 ayat 1),tetapi dapat disimpulkan dari beberapa ketentuan yaitu Pasal 310, 1448 dan 1685.
Menurut Pasal 310 anak yang belum dewasa harus diwakili oleh seorang pengampu (curator) istimewa yang diangkat oleh Pengadilan Negeri dalam segala hal, bilamana kepentingan si anak bertentangan dengan kepentingan orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan, bahwa normal (yaitu dalam hal tidak ada bertentangan kepentingan) si anak diwakili oleh orang tuanya yang menjalankan kekuasaan orang tua. Menurut Pasal 1448, orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua dapat melakukan perbuatan-perbuatan untuk anaknya dengan sah, asal saja tidak melampaui batas-batas kekuasaannya. Menurut Pasal 1685 ayat 1, maka orang tua tersebut boleh menerima hibah-hibah yang diberikan kepada anaknya tanpa memerlukan kuasa itu (Pasal 1685 ayat 2). Dari perbedaan antara ayat 1 dan 2 dapat disimpulkan bahwa pada umumnya orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua adalah wakil hukum dari anaknya.
b.  Kekuasaan Orang Tua Terhadap Harta Kekayaan Anak.
Bagian ke 2 dari Bab ke XIV dari Buku I KUHPerdata yang mengatur akibat-akibat kekuasaan orang tua terhadap harta kekayaan si anak dapat dibagi menjadi 2 bagian:
1)      Tentang pengurusan harta kekayaan anak (pasal 307-310 KUHPerdata)
Seperti telah dikatakan lebih dahulu, si bapak atau si ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua mewakili anaknya dalam segala tindak perdata, sekedar dalam undang-undang tidak diadakan pengecualian. Perwakilan itu tidak hanya mengenai pribadi si anak, melainkan mengenai juga harta kekayaan si anak.
Harta kekayaan si anak ini diurus oleh si bapak atau ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua (Pasal 307 ayat 1), kecuali mereka telah berpisah meja dan tempat tidur yang di putus oleh Hakim atas permohonan (kata sepakat) suami dan isteri (Pasal 236). Dalam hal yang tersebut belakangan ini, menurut Pasal 237, maka mereka belum mengajukan permohonan untuk perpisahan meja dan tempat tidut, berwajib dengan sebuah akta otentik mengatur akibat-akibatnya antara lain yang mengenai penunaian kekuasaan orang tua. Dalam aturan-aturan itu mereka dapat menentukan siapa yang akan mengurus harta kekayaan si anak sehingga mungkin pengurusan harta kekayaan si anak dilakukan oleh orang lain dari bapak atau ibunya yang menjalankan kekuasaan orang tua[4].
Ada kemungkinan bahwa dua atau lebih anak yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua atau perwalian satu orang yang sama (misalnya setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur dari orang tuanya, diputuskan oleh Hakim bahwa kekuasaan orang tua  terhadap anak yang satu akan dijalankan oleh si bapak dan terhadap anak yang lain oleh si ibu) mempunyai benda-benda yang merupakan milik bersama mereka. Dalam hal demikian Pengadilan Negeri menurut Pasal 319e ayat terakhir (yang disebutkan dalam Pasal 307 ayat 1) boleh menunjuk seorang dari orang-orang yang menjalankan kekuasaan orang tua atau perwalian terhadap anak-anak tersebut, atau seorang lain untuk mengurus harta kekayaan milik bersama itu dengan jaminan-jaminan yang ditentukan oleh Pengadilan.
Selain dari pada itu masih ada kemungkinan bahwa si anak mempunyai barang-barang lain yang tidak terurus oleh bapak atau ibunya yang menjalankan kekuasaan orang tua terhadapnya. Barang-barang itu adalah barang-barang yang telah diperoleh sebagai hibah, hibah wasiat (legaat) atau warisan testament (misalnya dari kakek, nenek, pamannya dan sebagainya) dengan ketentuan bahwa barang-barang itu tidak akan diurus oleh bapak atau ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua, melainkan oleh seorang atau lebih pengurus yang telah ditunjuk oleh Pengadilan atau pewaris (Pasal 307 ayat2).
Dalam akta hibah atau testament, si penghibah atau pewaris dapat menunjuk beberapa orang pengurus untuk bersama-sama mengurus harta kekayaan yang bersangkutan, atau supaya jika yang satu telah mengundurkan diri, meninggal dunia atau karena apapun tidak dapat melakukan kewajibannya lagi, ia digantikan oleh yang lain, menurut Pasal 307 ayat 3, maka pengurusan barang-barang demikian beralih kepada orang yang menjalankan kekuasaan orang tua, apabila pengurusan yang dimaksud dalam ayat 2 karena sebab apapun berakhir (terhapus = vervallen), yaitu karena semua orang yang telah ditunjuk sebagai pengururs telah meninggal dunia, mengundurkan diri tanpa menunjuk orang lain sebagai gantinya, walaupun ia diberi kewajiban atau hak untuk itu dan sebagainya.
Ketentuan itu diadakan untuk membatasi pengecualian terhadap ketentuan Pasal 307 ayat 1, bahwa harta kekayaan si anak diurus oleh bapak atau ibunya yang menjalankan kekuasaan orang tua. Menurut Pasal 1019, seorang pewaris boleh menentukan (dalam surat testamen atau dalam surat notaris khusus), bahwa barang-barang yang akan ditinggalkan kepada ahli warisnya atau yang ia hibah wasiatkan akan diurus seorang atau beberapa orang pengurus, yang diangkatnya dan demikian untuk waktu tertentu atau selama hidupnya para ahli waris atau para penerima hibah wasiat, asal saja ketentuan itu tidak melanggar hak mutlak (legitieme partie) yang harus diberikan kepada para yang berhak (legitimaris) bebas dari ketentuan demikian dan atau beban-beban lain.
Menurut Pasal 1020, jika pewaris tidak telah menunuk orang-orang yang akan menggantikan pengurus tadi, dalam hal mana mereka ini sudah tidak ada lagi, maka Pengadilan Negeri akan mengangkat penggantinya. Biasanya dianggap bahwa ketentuan dalam Pasal 1020 tidak dapat dinyatakan berlaku secara analogis untuk pengurus-pengurus yang dimaksudkan dalam Pasal 307 ayat 2, yaitu pengururs-pengurus harta kekayaan seorang yang berada dibawah kekuasaan orang tua, demikian berhubung dengan Pasal 307 ayat 3. Jadi dalam hal yang disebutkan belakangan ini, maka Hakim tidak boleh menunjuk pengurus untuk mengganti para pengurus yang dimaksud dalam Pasal 307 ayat 2, apabila para pengurus itu sudah tidak ada. Tidak jarang dalam surat-surat testament ditentukan bahwa apabila para pengurus yang dimaksud dalam Pasal 307 ayat 2 sudah tidak ada, penggantinya diangkat oleh Pengadilan Negeri.
Dalam hal demikian Pengadilan Negeri boleh mengangkat penggantinya, karena Pasal 307 ayat 3 tidak merupakan ketentuan yang memaksa. Tidak ada alasan untuk menghalang si penghibah  atau pewaris untuk mengadakan ketentuan demikian dalam akta hibah atau testament, yang hanya akan mengakibatkan bahwa mereka mengurungkan penghibahan, pemberian hibah wasiat atau warisan dengan testament yang akan merugikan si anak yang belum dewasa.
Si bapak atau ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua, menurut Pasal 307 ayat terakhir berhak sewaktu-waktu perhitungan dan pertanggung jawaban dari para pengurus harta kekayaan anaknya. Balai Harta Peninggalan sebagai wali pengawas hanya boleh minta perhitungan dan pertanggung jawaban dari seorang wali, yang bukan bapak atau ibunya si anak tiap-tiap tahun (Pasal 372). Perhitungan dan pertanggung jawaban yang dimaksud dalam Pasal 307 ayat terakhir dapat diminta dari para pengurus tiap-tiap waktu. Perundang-undangan tidak hendak mengikat si bapak atau ibu dengan waktu-waktu tertentu, karena mungkin ada alasan untuk minta perhitungan dan pertanggung jawaban dengan segera. Tentu saja hak itu tidak boleh disalah gunakan. Dalam hal demikian Hakim akan melindungi si pengurus dengan menyatakan bahwa tuntutan perhitungan dan pertanggung jawaban demikian tidak berfaedah sama sekali dan merupakan penggunaan hak yang salah.
Pengurusan harta kekayaan oleh orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, harus dilakukan sebagai bapak rumah tangga yang baik. Apabila harta kekayaan yang diurus tidak baik, maka ia bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh si anak. Biasanya ia hanya bertanggung jawab untuk modalnya (dalam undang-undang : kepemilikan harta kekayaan anak) dan tidak untuk hasil-hasilnya, karena biasanya orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua seperti kemudian akan dibicarakan, mempunyai hak nikmat hasil (vruchtgenot) atas harta kekayaan si anak[5].
Jadi hasil-hasil harta kekayaan si anak itu menjadi miliknya. Kalau ia tidak mempunya hak nikmat hasil, maka ia juga bertanggung jawab atas hasil-hasil itu (Pasal 308). Berlainan dengan seorang wali (Pasal 335), seorang tua, yang menjalankan kekuasaan orang tua tidak berwajib memberi jaminan untuk pengurusan harta kekayaan anaknya (berupa penunjukan orang yang bersedia menanggungnya, yaitu menjadi borg atau dengan memberikan hipotik atas benda-benda  tidak bergerak atau hak gadai atas benda-benda bergerak). Piutang anak kepada bapak atau ibunya karena kerugian yang diderita berhubung dengan pengurusan tersebut juga tidak diistimewakan (tidak diberikan hak privilege) atas harta kekayaan si orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua dan mengurus harta kekayaannya.
Seperti setiap orang yang mengurus harta kekayaan orang lain, maka juga seorang tua yang mengurus harta kekayaan anaknya, harus memberikan perhitungan dan pertanggung jawaban kepada anak itu atau wakilnya, setelah pengurusan itu berakhir (setelah anak menjadi dewasa). Ini sudah sewajarnya, sehingga undang-undang tidak menentukan ini dengan tegas. Perhitungan dan pertanggung jawaban itu dapat diberikan tanpa formalitas.
Menurut Pasal 309, seorang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua tidak boleh melakukan perbuatan-perbuatan yang memutuskan terhadap harta kekayaan anak-anaknya yang belum dewasa, tanpa memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang memindah tangankan barang-barang anak-anak yang belum dewasa, yang berlaku bagi seorang wali (Pasal 309). Dari ketentuan-ketentuan ini yang terpenting adalah Pasal 393, demikianlah seorang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua hanya boleh memindah tangankan atau membebani (menghipotikkan, menggadaikan) barang-barang anaknya denga kuasa dari Pengadilan Negeri.
Dalam pengertian perbuatan-perbuatan yang memutuskan termasuk juga meminjam uang untuk si anak, karena dengan meminjam uang secara tidak langsung harta kekayaan si anak terikat (dapat disita dan dilelang, jika pinjaman uang tidak dibayar). Pengadilan Negeri hanya akan memberikan kuasa itu, jika ada keperluan yang mutlak atau jika perbuatan-perbuatan itu sangat bermanfaat bagi si anak (misalnya perlu untuk membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak). Sebelum memberi kuasa itu, maka Pengadilan Negeri lebih dahulu akan mendengar, setidak-tidaknya memanggil untuk didengar, keluarga sedarah dan semenda yang belum dewasa dan Balai Harta Peninggalan (Pasal 393).
Kata “perbuatan-perbuatan yang memutuskan terhadap harta kekayaan anak” tidak boleh ditafsir terlalu luas, antara wewenang orang tua yang menjalankan kekusaan orang tua dan wewenang seorang wali ada perbedaan, misalnya orang tua untuk menerima hibah untuk si anak tidak memerlukan kuasa dari Hakim, sedangkan wali harus minta kuasa itu terlebih dahulu (Pasal 1685,402).
Si ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua  untuk melakukan perbuatan-perbuatan selaku orang tua  yang menjalankan kekuasaan itu, tidak memerlukan bantuan atau kuasa dari suaminya. Pendapat lain akan tidak bisa diterima sebab kalau si bapak telah dipecat atau dibebaskan dari kekuasaan tersebut, akan tidak masuk akal sama sekali untuk minta bantuan atau kuasanya. Asal ia tidak melampaui batas-batas wewenangnya maka perbuatan si ibu yang menjalankan kekuasaan itu akan mengikat ikatnya, sebagai juga seorang isteri yang menjadi kuasa orang lain atau menjadi direktur perseroan itu mengikat si pemberi kuasa atau perseroan terbatas tersebut terhadap pihak ketiga[6].
Setelah Pasal 108 dan 110 KUHPerdata tentang ketidak-cakapan  seorang isteri untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum dan untuk menghadap dimuka Pengadilan tanpa ijin, bantuan atau kuasa suaminya oleh Mahkamah Agung telah dinyatakan tidak berlaku lagi (Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963, tanggal 5 september 1963 kepada Kepala Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia).
Dalam segala hal, dimana bapak atau ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan anaknya yang belum dewasa, maka anak itu akan diwakili oleh seorang pengampu istimewa (bijzohdere curator), yang untuk itu akan diangkat oleh Pengadilan Negeri (Pasal 310). Pengadilan Negeri yang berwenang mengangkat pengampu istimewa itu adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal si anak, yaitu  tempat tinggal orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua (Pasal 21). Pengangkatan itu dapat diminta oleh setiap orang yang berkepentingan dan juga dapat diputuskan oleh Hakim karena jabatannya.
Seorang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua yang memberi hibah kepada anaknya, boleh menerima hibah itu untuk dan atas nama si anak karena dalam hal ini tidak bertentangan kepentingan antara orang tua dan anak.
Pelanggaran Pasal 310 tidak mengakibatkan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua adalah batal demi hukum, tetapi hanya bahwa perbuatan itu dapat dibatalkan oleh Hakim.
Perbuatan-perbuatan hukum tertentu ysng mengenai harta kekayaannya dapat dilakukan oleh si anak yang belum dewasa sendiri. Anak-anak yang belum dewasa tanpa perantaraan orang tuanya yang menjalankan kekuasaan orang tua atau walinya, dapat memperoleh buku tabungan, menyetor uang atas buku tabungan itu dan menerima kembali uang itu dan bunganya yang terdiri dari atas namanya dalam buku tabungan itu. Tetapi bapak atau ibunya yang menjalankan kekuasaan orang tua atau walinya berhak mengajukan perlawanan terhadap pembayaran kembali itu. Pembayaran kembali uang tersebut dapat dituntut kembali oleh mereka, tetapi jika si anak sudah mencapai umur 16 tahun, ini hanya mungkin dengan kuasa Pengadilan Negeri. Kuasa itu hanya akan diberi dalam hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 393 KUHPerdata.(Pasal 7 dari St. 1934 No. 653).
Untuk membuat perjanjian perburuhan sebagai buruh, anak yang belum dewasa tidak perlu diwakili oleh orang tuanya yang menjalankan kekuasaan orang tua atau walinya, cukup apabila mereka ini memberi kuasa padanya, baik dengan lisan, maupun tertulis (Pasal 1601 g, juga Pasal 1601 h).

2)      Hak nikmat hasil (vruchtgenot) orang tua terhadap harta kekayaan anak. (Pasal 311-319 KUHPerdata).
Yang berhak menikmati hasil harta kekayaan anak-anak yang belum dewasa. Si bapak atau ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua atau perwalian berhak menikmati hasil harta kekayaan anak-anaknya (Pasal 311 ayat 1). Hal itu dinamakan hak “nikmat hasil” (vruchtgenot). Selama perkawinan antara si bapak dan ibu masih berlangsung dan mereka tidak berpisah meja dan tempat tidur, normal si bapak yang menjalankan kekuasaan orang tua, sehingga normal si bapak lah yang mempunyai hak nikmat hasil itu. Dalam hal si bapak dan ibu telah kawin dalam persatuan harta kekayaan (keadaan yang normal), maka hasil harta kekayaan si anak masuk dalam persatuan harta kekayaan bapak dan ibu.
            Dalam hal si bapak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwalian, maka normal si ibu yang akan menjalankan kekuasaan orang tua atau perwalian, sehingga si ibu lah yang berhak atas hak nikmat hasil[7].
            Apabila baik bapak maupun ibu dibebaskan dari kekuasaan orang tua atau perwalian, maka kedua orang tua bersama berhak atas nikmat hasil (Pasal 311 ayat 2).
Jika salah satu dari orang tua meninggal dunia atau telah dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwalian, maka orang tua yang lain juga apabila ia telah dibebaskan dari kekuasaan orang tua atau perwalian, berhak atas nikmat hasil (Pasal 311 ayat 3). Jadi Undang-undang perihal hak nikmat hasil mengadakan perbedaan antara pembebasan dan pemecatan dari kekuasaan orang tua atau perwalian. Perundang-undangan tidak menghendaki bahwa seorang tua yang karena ia tidak mampu atau tidak cakap untuk menjalankan kekuasaan orang tua atau perwalian yaitu untuk mendidik dan merawat anak-anaknya, sehingga ia telah dibebaskan dari kekuasaan orang tua atau perwalian, menderita kerugian financial. Hanya apabila sebagai akibat itu, orang tua yang lain yang menjalankan kekuasaan orang tua atau perwalian, ia tidak akan berhak atas hasil harta kekayaan anak-anaknya (Pasal 311 ayat 3).
Orang tua yang telah dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwalian, selalu tidak mempunyai hak nikmat hasil. Apabila kedua orang tua dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwalian, maka mereka dua-duanya tidak mempunyai hak nikmat hasil[8].
Di bawah ini akan di sebutkan siapa yang berhak atas nikmat hasil dalam hal perkawinan masih berlangsung dan dalam hal perkawinan telah bubar.
1).  Dalam hal perkawinan masih berlangsung.
a)     Bapak atau ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua yang berhak atas nikmat hasil (bila tidak ada pemecatan atau pembebasan) biasanya ini si bapak kecuali dalam hal perpisahan meja dan tempat tidur. Dalam hal ini tergantung dari keputusan Hakim atau dalam hal perpisahan itu tercapai atas kata sepakat suami dan isteri dari perjanjian dalam akta otentik yang dimaksudkan dalam Pasal 237, siapa dari bapak dan ibu yang akan menjalankan kekuasaan orang tua.
b)     Jika si bapak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua, si ibu yang berhak atas nikmat hasil.
c)     Jika si bapak dan ibu telah dibebaskan dari kekuasaan orang tua,  hasil harta kekayaan anak-anaknya dibagi oleh mereka sama rata.
d)    Jika si bapak telah dibebaskan  dan ibu telah dipecat dari kekuasaan orang tua, maka si bapak yang berhak atas nikmat hasil.
e)     Jika si bapak telah dipecat dan ibu telah dibebaskan dari kekuasaan orang tua, maka si ibu yang berhak atas nikmat hasil.
f)      Jika bapak dan ibu telah di pecat dari kekuasaan orang tua, maka tidak ada seorang pun yang berhak atas nikmat hasil.
2).   Dalam hal perkawinan telah bubar.
            Setelah perkawinan bubar yaitu karena salah satu sebab yang disebutkan dalam Pasal 199, sehingga anak-anaknya berada dibawah perwalian, maka:
a). hak nikmat hasil ada pada bapak atau ibu yang menjadi wali, yaitu biasanya jika tidak ada pembebasan atau pemecatan:
(1).    dalam hal salah satu orang tua meninggal dunia (Pasal 199 sub a) orang tua yang hidup terlama.
(2).    dalam hal salah satu orang tua tidak hadir dan yang lain telah kawin dengan orang lain (Pasal 199 sub 2).
(3). dalam hal pembubaran perkawinan karena putusan Hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur atau karena perceraian (Pasal 199 sub 3 dan 4): si bapak atau ibu yang diangkat menjadi wali oleh Hakim.
b). bapak atau ibu yang dibebaskan sebagai wali, tetap berhak atas nikmat hasil, apabila isteri atau suaminya telah meninggal dunia. Apabila isteri atau suami itu masih hidup, maka ia ini yang menjadi wali, dan demikian berhak atas nikmat hasil.
c). jika si bapak dan ibu masih hidup, dan dua-duanya dibebaskan, maka hasil harta kekayaan anak-anak yang belum dewasa mereka dibagi oleh mereka sama rata.
d). jika si bapak telah dibebaskan dan si ibu telah dipecat dari perwalian, maka si bapak yang berhak atas nikmat hasil.
e).   jika si bapak telah dipecat dan si ibu dibebaskan dari perwalian, maka si ibu yang berhak atas nikmat hasil.
f).   jika si bapak dan ibu dua-duanya telah dipecat dari perwalian atau yang satu telah dipecat dan yang lain telah meninggal, maka tidak ada yang berhak atas nikmat hasil.
            Dari uraian diatas ternyatalah, bahwa hak nikmat hasil bukanlah akibat dari pada kekuasaan orang tua, sehingga penempatan ketentuan-ketentuan tentang hak nikmat hasil dalam Bab XIV kurang tepat. orang tua dapat mempunyai hak nikmat hasil tanpa menjalankan kekuasaan orang tua, yaitu orang tua yang menjadi wali dari anak-anaknya. Sebaliknya juga mungkin orang tua menjalankan kekuasaan orang tua, tetapi tidak mempunyai hak nikmat hasil yaitu menurut ketentuan dalam Pasal 315 (kehilangan nikmat hasil karena tidak membuat pendaftaran barang-barang dari persatuan harta kekayaan suami-isteri dalam 3 bulan menurut Pasal 127, jika persatuan itu bubar karena suami atau isteri telah meninggal).
            Hak nikmat hasil sesungguhnya adalah akibat dari pada hubungan erat antara orang tua dan anak-anaknya yang sah, yang mewajibkan orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya.
            Terhadap harta kekayaan anak-anak luar kawin yang telah diakui, si bapak atau ibu yang mengakuinya tidak mempunyai hak nikmat hasil (Pasal 319). Ini tidak dapat digunakan sebagai alasan, bahwa hak nikmat hasil bukan akibat dari pada hubungan erat antara orang tua dan anak-anaknya, karena Pasal 319 telah diadakan untuk mencegah, bahwa seorang hanya mengakui anak untuk memperoleh hasil dari harta kekayaannya.
            Biasanya yang menjalankan kekuasaan orang tua adalah si bapak sehingga si bapaklah yang biasanya berhak atas nikmat hasil. Ini kiranya kurang adil, karena tidak hanya si bapak, melainkan juga si ibu berwajib membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka yang belum dewasa (Pasal 298 ayat 2). Apabila bapak dan ibu tidak kawin dengan persatuan harta kekayaan secara bulat, ketidak adilan itu akan nyata sekali. Seperti nanti akan ternyata, penikmat hasil berwajib membiayai pemeliharaan dan pendidikan si anak yang belum dewasa seimbang dengan harta kekayaan si anak (Pasal 312 sub 2), sehingga hasil-hasil harta kekayaan si anak lebih dahulu harus digunakan untuk membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak itu, dan demikian penikmat hasil hanya menikmati saldonya.
Akan tetapi hasil harta kekayaan si anak tidak tetap. Selama beberapa tahun hasil itu dapat besar sekali dan melebihi biaya-biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan si anak, sehingga orang tua yang mempunyai nikmat hasil “memperoleh keuntungan” yang banyak. Setelah itu mungkin selama beberapa tahun hasilnya kecil sekali, sehingga tidak cukup untuk membiayai pemeliharaan dan pendidikan tersebut. Dalam hal belakangan ini kekurangan harus dipikul oleh bapak dan ibu bersama, jadi baik oleh orang tua yang sudah memperoleh keuntungan dari harta kekayaan si anak, maupun oleh orang tua yang tidak pernah memperoleh keuntungan demikian[9].

2.      Kekuasaan Orang Tua Menurut Undang-undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
Apabila suatu perkawinan memperoleh keturunan, maka perkawinan tersebut tidak hanya menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan istri yang bersangkutan, akan tetapi juga menimbulkan hak dan kewajiban antara suami istri sebagai orang tua dan anak-anaknya. Hak dan kewajiban orang tua dan anak-anak ini dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 taentang perkawinan diatur dalam pasal 45-49.
Dalam pasal 45 ditentukan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya, sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua itu putus. Disamping kewajiban untuk memelihara dan mendidik tersebut, orang tua juga menguasai anaknya yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Kekuasaan orang tua ini  meliputi juga untuk mewakili anak yang belum dewasa ini dalam melakukan perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan (pasal 47).
Selanjutnya dalam Pasal 45 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan sebagai berikut :
a.       Kedua  orang  tua  wajib  memelihara  dan  mendidik  anak-anak  mereka sebaik-baiknya.
b.      Kewajiban  orang  tua  yang  dimaksud  dalam  ayat  (1)  pasal  1  berlaku sampai  anak  itu  kawin  atau  berdiri  sendiri,  kewajiban  mana  berlaku terus meskipun perkawinan antara keduanya putus.
Selanjutnya dalam Pasal 47 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dinyatakan sebagai berikut :
a.       Anak   yang   belum   mencapai   umur   18   tahun   atau   belum   pernahmelangsungkan  perkawinan  ada  dibawah  kekuasaan  orang  tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
b.      Orang  tua  mewakili  anak  tersbeut  mengenai  perbuatan  hukum  di dalam dan di luar pengadilan.
 Dari   ikatan   kekeluargaan   dapatlah   timbul   berbagai   hubungan, orang yang satu di wajibkan untuk memeliharaan atau alimentasi terhadap orang yang lain, apabila perkawinan melahirkan anak, maka kedudukan anak  serta  bagaimana  hubungan  antara  orang  tua  dengan  anaknya  itu menimbulkan  persoalan sehingga memang dirasakan adanya  aturan- aturan hukum yang mengatur tentang hubungan antara mereka.
Demi pertumbuhan anak yang baik   orang   tua   harus   memenuhi   kebutuhan   jasmani   seperti   makan, minum, tidur, kebutuhan keamanan dan perlindungan kebutuhan untuk di cintai  orang  tuanya,  kebutuhan  harga  diri  (adanya  penghargaan)  dan kebutuhan  untuk  menyatakan  diri  baik,  secara  tertulis  maupun  secara lisan[10].

Selain itu M. Yahya Harahap menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemeliharaan anak adalah[11]:
a.       Tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberikan pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup anak.
b.      Pemeliharaan yang berupa pengawasan, pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut adalah bersifat kontinyu (terus menerus) sampai anak itu dewasa.
UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 30 menyebutkan bahwa “suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.
Kekuasaan orang tua ini dapat saja dicabut akan tetapi orang tua tidak dibebaskan dari kewajiban memberi biaya nafkah anak hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU No.1       tahun   74 tentang Perkawinan,  Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap   seorang   anak   atau   lebih   untuk   waktu   tertentu   atas permintaan  orang  tua  yang  lain,  keluarga  anak  dalam  garis  lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal :
a.       Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.
b.      Ia berkelakuan sangat buruk .
Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya tersebut. Demikian kekuasaan orang tua ada batasnya yaitu tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya ( pasal 48 ). Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua terhadap anaknya dapat dicabut untuk waktu tertentu, apabila ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya atau berkelakuan buruk sekali. Pencabutan kekuasaan orang tua terhadap seorang anaknya ini dilakukan dengan keputusan pengadilan atas permintaan orang tua yang lain keluarga dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau penjabat yang berwenang. Kekuasaan orang tua yang dicabut ini tidak termasuk kekuasaan sebagai wali nikah. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, namun mereka masih tetap kewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan anaknya tersebut (pasal49).
Kewajban orang tua terhadap anak menurut Kitab undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah kekuasaan orang tuan terhadap diri anak yang mencakup kewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, kewajiban ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.

Dari uraian diatas maka kekuasaan orang tua Menurut KUHPerdata bahwa secara garis besar kekuasaan orang tua dibedakan atas :
1. Kekuasaan orang tua terhadap diri anak ;
2. Kekuasaan orang tua terhadap harta benda.
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa kekuasaan orang tua terhadap diri anak adalah kewajiban untuk memberi pendidikan dan penghidupan kepada anaknya yang belum dewasa. Atas dasar kekuasaan orang tua yang menjadi kewajiban orang tua, maka kekuasaan orang tua baik keduanya (bapak dengan Ibu) maupun salah satunya dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan .
 Sedangkan dalam Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, kewajiban ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Didalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawianan kewajiban orang tua hanya sebatas kekuasaan terhadap diri anak dan tidak terhadap harta benda atau kekayaan anak sebagaimana yang telah diatur secara terperinci dalam KUHPerdata.




[1] Subekti R. ,1983, Pokok-Pokok Hukum Perdata., Cetakan XVII, Penerbit Intermasa, Jakarta. Hal 15

[2] Subekti R. ,Tjitrosudibjo., 1992, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata., Cetakan XXV, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta. Hal 42

[3] Ibid, hal 45
[4] Prawirohmijoyo Soetojo R. ,Safioedin Azis, Op.cit., hal 26
[5] Vollmar H.F.A. 1952. Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid I Cetakan III Penerbit Rajawali Jakarta. Hal.14
[6] Ibid., hal 20
[7] Vollmar H.F.A. 1981,. Hukum keluarga (MenurutK.U.H.Perdata) Terjemahan, Cetakan I, Penerbit Tarsito , Bandung. Hal 124

[8] Ibid
[9] Subekti dan Tjitro Sudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. Ke-28, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1996), hlm, 4.

[10] Wirjono Prodjodikoro, 1984, Hukum Perkawinan di Indonesia ,Sumur, andung. hal 34
[11] M. Yahya Harahap. Op. Cit., hal 5